Anti-Virus Fitnah
M. Iqbal Ahnaf, Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Fitnah layaknya sebuah virus yang menyerang sendi-sendi utama yang menopang sebuah tubuh. Virus tidak berbentuk luka pada bagian luar tubuh yang nampak secara nyata dan karena itu memicu reaksi cepat. Karena tidak nampak virus seringkali diremehkan, sebelum ia tumbuh berkembang dan menciptakan rasa sakit yang mengganggu gerak tubuh.
Kesadaran tentang ancaman fitnah sudah mulai menguat belakangan; bisa jadi karena ibarat virus fitnah sudah tumbuh berkembang dan mulai mengganggu gerak maju bangsa. Contoh paling nyata adalah Surat Edaran yang dikeluarkan Kapolri pada tahun 2015 yang menginstruksikan aparat kepolisian untuk mengambil tindakan terhadap apa yang disebut dengan istilah ujaran kebencian (hate speech). Surat Edaran ini tidak serta-merta membuat polisi menangkap para pengujar kebencian yang memang tidak mudah dihentikan. Tetapi paling tidak kita melihat langkah maju untuk menghambat persebaran virus fitnah. Situs-situs dan media sosial yang menjadi arena pertempuran ashabul fitnah sedikit-demi sedikit mulai dibatasi. Kementerian Komunikasi dan Informasi mulai bertindak menutup situs-situs ekstrim. Selain itu, kesadaran publik terhadap ancaman fitnah juga mulai muncul. Inisiatif untuk melaporkan fitnah berupa gambar Imam Al-Azhar berciuman dengan Paus adalah contoh nyata yang patut diikuti.
Langkah-langkah seperti di atas adalah anti-virus fitnah yang perlu diperkuat. Kini banyak orang baik bahkan tokoh moderat yang ikut larut dalam arus taktik ashabul fitnah. Hal ini bisa dilihat dari masuknya tema-tema sektarian di kalangan masyarakat yang pada dasarnya moderat. Kekhawatiran dan ketakutan yang terbangun terhadap isu-isu keagamaan seperti ‘bahaya’ Syi’ah, aliran sesat Kristenisasi dan Islamisasi tidak bisa dipungkiri sangat menguntungkan agenda ashabul fitnahuntuk menciptakan polarasi sektarian di negeri ini.
Anti-virus fitnah lain yang ditegaskan oleh Al-Buthi adalah tashih berita atau kesadaran tentang pentingnya menerima berita secara kritis. Dalam ilmu studi perdamaian, anti-virus ini disebut “membunuh rumor.” Istilah membunuh mungkin terasa keras tetapi ini merefleksikan pentingnya merespon dengan tegas persebaran fitnah dan berita palsu yang bertujuan untuk menciptakan kebencian dan polarisasi komunal.
Langkah “membunuh rumor” tidak harus dilakukan dengan melarang aktivitas penyebar rumor, tetapi dengan menyediakan alternatif informasi yang bisa menguji keabsahan rumor. Di sejumlah negara, langkah ini diwakili misalnya oleh keberadaan sejumlah lembaga ‘Fact Check” yang bisa menangkal disinformasi.
Pesan penting yang disampaikan Taufiq Al-Buthi di atas seperti menohok jantung sumber ancaman terhadap keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan yang sejak berdiri begitu bangga dengan identitas Bhineka Tunggal Ika.
Tentu ada yang patut menjadi catatan kritis dari ceramah Al-Buthi yang menjadi inspirasi tulisan ini. Catatan khususnya terkait dengan posisi politik Al-Bouthi yang tampak mengesampingkan pelanggaran HAM pemerintahan Bashar Al-Asad. Al-Bouthi kerap memberikan argumen yang sepenuhnya negatif terhadap negara-negara Barat, seakan fitnah dan kehancuran yang terjadi di Suriah adalah sepenuhnya ulah “konspirasi Barat.” Cara pandang esensialis demikian mengesampingkan keragaman dari apa yang secara sederhana disebut “Barat” dan “Islam”.
Terlepas dari itu, pengalaman Suriah sebagai sebuah bangsa yang hancur karena polarisasi sektarian patut menjadi pelajaran berharga agar Indonesia tetap utuh. []
M. Iqbal Ahnaf, Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
tanggapan fitnah terhadap islam
Reviewed by Sepintas Kabar
on
June 26, 2017
Rating:
No comments:
Post a Comment