Setelah pasukan Muslim mengalahkan Bizantium dalam Pertempuran Yarmuk pada tahun 636, Palestina berada di bawah kendali Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah.[36][37][38]
Hubungan politik, perdagangan, dan toleransi antara negara-negara Arab
dan Kristen Eropa mengalami pasang surut hingga tahun 1072, ketika
Fatimiyah kehilangan kendali atas Palentina dan beralih ke Kekaisaran Seljuk Raya yang berkembang pesat.[39] Kendati kalifah Fatimiyah Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus, penerusnya mengizinkan Kekaisaran Bizantium untuk membangunnya kembali.[40] Para penguasa Muslim mengizinkan peziarahan oleh umat Katolik ke tempat-tempat suci. Para pemukim Kristen dianggap sebagai dzimmi dan perkawinan campur tidaklah jarang terjadi.[41]
Budaya dan keyakinan hidup berdampingan dan saling bersaing, namun
kondisi-kondisi daerah perbatasan tidak bersahabat bagi para pedagang
dan peziarah Katolik.[42] Gangguan atas peziarahan oleh karena penaklukan bangsa Turk Seljuk memicu dukungan bagi Perang-perang Salib di Eropa Barat.[43]
Kekaisaran Bizantium melakukan ekspansi wilayah pada awal abad ke-10 melalui Basilius II
yang menghabiskan sebagian besar kekuasaannya selama setengah abad
dengan melakukan berbagai penaklukan. Meskipun ia mewariskan peningkatan
harta benda, ia menelantarkan urusan-urusan domestik dan mengabaikan
tugas untuk menggabungkan hasil-hasil penaklukannya ke dalam ekumene
Bizantium. Tak ada satu pun penerus Basilius yang memiliki bakat
politik atau militer, dan tugas mengatur Kekaisaran semakin banyak
diserahkan kepada pelayanan sipil. Upaya-upaya mereka untuk
mengembalikan perekonomian Bizantium ke dalam kemakmuran bahkan memicu inflasi. Untuk menyeimbangkan anggaran yang semakin tidak stabil, tentara tetap Basilius dibubarkan dan tentara thematiknya digantikan dengan tagmata. Setelah kekalahan pasukan Bizantium pada tahun 1071 dalam Pertempuran Manzikert, bangsa Turk Seljuk menguasai hampir keseluruhan Anatolia dan kekaisaran tersebut kerap kali mengalami perang saudara.[44]
Penaklukan kembali Semenanjung Iberia dari kekuasaan kaum Muslim dimulai pada abad ke-8, mencapai titik baliknya dengan direbutnya kembali Toledo pada tahun 1085.[45] Kendati dalam Konsili Clermont tahun 1095[46]
Paus Urbanus II telah memperbandingkan peperangan Iberia dengan Perang
Salib Pertama yang dimaklumkannya, namun status perang salib baru
diperoleh melalui ensiklik Paus Kallistus II tahun 1123.[47]
Setelah ensiklik ini, kepausan tersebut menyatakan perang-perang salib
Iberia pada tahun 1147, 1193, 1197, 1210, 1212, 1221, dan 1229. Hak-hak
istimewa tentara salib juga diberikan kepada mereka yang membantu
ordo-ordo militer utama (Ksatria Templar dan Hospitaller) dan ordo-ordo Iberian yang pada akhirnya bergabung dengan kedua ordo utama: Ordo Calatrava dan Ordo Santiago. Dari tahun 1212 hingga 1265 kerajaan-kerajaan Kristen Iberia mendesak kaum Muslim sampai ke Keamiran Granada
di ujung selatan semenanjung tersebut. Pada tahun 1492 keamiran ini
ditaklukkan, kaum Muslim dan Yahudi dipaksa keluar dari semenanjung
tersebut.[48]
Suatu kepausan reformis yang agresif mengalami perselisihan dengan
monarki-monarki sekuler Barat dan Kekaisaran Timur, menyebabkan Skisma Timur–Barat[49] dan Kontroversi Penobatan
(yang dimulai sekitar tahun 1075 dan berlanjut selama Perang Salib
Pertama). Kepausan tersebut mulai menegaskan kemerdekaannya dari para
penguasa sekuler dan menyusun alasan-alasan penggunaan kekuatan
bersenjata secara tepat oleh kalangan Katolik. Hasilnya adalah kesalehan
yang ketat, suatu minat dalam hal-hal keagamaan, dan propaganda
keagamaan yang menganjurkan suatu perang yang benar
untuk merebut kembali Palestina dari kaum Muslim. Pandangan mayoritas
adalah bahwa umat non-Kristen tidak dapat dipaksa untuk menerima baptisan
Kristen atau diserang secara fisik karena memiliki iman yang berbeda,
namun ada kaum minoritas yang meyakini bahwa konversi paksa dan
pembalasan dapat dibenarkan karena penolakan atas pemerintahan dan iman
Kristen.[50] Partisipasi dalam perang seperti demikian dipandang sebagai suatu bentuk penitensi yang mana dapat mengganti kerugian akibat dosa.[51] Di Eropa, bangsa Jerman melakukan ekspansi dengan mengorbankan bangsa Slavia[52] dan Sisilia ditaklukkan oleh seorang petualang Norman bernama Robert Guiscard pada tahun 1072.[
Kaisar Alexius I Komnenus meminta bantuan militer (kemungkinan tentara bayaran untuk memperkuat tagmatanya) dari Paus Urbanus II pada Konsili Piacenza
tahun 1095 untuk memerangi Seljuks; ia secara berlebihan menceritakan
bahaya yang dihadapi Kekaisaran Timur agar dapat memperoleh pasukan yang
dibutuhkannya.[54] Pada tanggal 27 November 1095, dalam Konsili Clermont yang dihadiri hampir 300 klerus Perancis, Paus Urbanus mengangkat isu-isu mengenai masalah yang terjadi di Timur dan perjuangan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) melawan kaum Muslim. Lima sumber utama seputar informasi terkait konsili ini adalah: Gesta Francorum (Perbuatan-perbuatan Bangsa Franka), sebuah karya anonim bertarikh antara tahun 1100–1101; Fulcher dari Chartres, seorang imam yang menghadiri konsili ini; Robert sang Rahib, yang mungkin menghadirinya; Baldric, Uskup Agung Dol, dan Guibert dari Nogent
(yang mana tidak menghadirinya). Laporan-laporan tersebut berupa
tulisan tinjauan ke belakang yang sangat jauh berbeda antara satu dengan
yang lainnya.[55]
Dalam Historia Iherosolimitana
karyanya tahun 1106–1107, Robert sang Rahib menuliskan bahwa Paus
Urbanus meminta kaum Kristen barat untuk membantu Kekaisaran Bizantium
karena "Deus vult" ("Allah menghendakinya") dan menjanjikan absolusi bagi para pesertanya; menurut sumber-sumber lainnya, paus tersebut menjanjikan suatu indulgensi.
Dalam laporan-laporan itu, Paus Urbanus menekankan untuk merebut
kembali Tanah Suci daripada sekadar membantu sang kaisar dan ia
mendaftar pelanggaran-pelanggaran mengerikan yang diduga dilakukan oleh
kaum Muslim. Perang salib tersebut diserukan di seluruh Perancis; Paus
Urbanus menulis kepada mereka "yang menanti di Flandria"
bahwa bangsa Turk, selain menghancurkan "gereja-gereja Allah di
wilayah-wilayah timur", telah merebut "Kota Suci Kristus, yang dihiasi
oleh sengsara dan kebangkitan-Nya—dan merupakan penghujatan untuk
mengatakannya—telah menjualnya dan gereja-gerejanya ke dalam perbudakan
keji". Meskipun sang paus tidak secara eksplisit menyebut penaklukan
kembali Yerusalem, ia menyerukan "pembebasan" militer atas Gereja-gereja Timur dan menunjuk Adhemar dari Le Puy untuk memimpin perang salib ini (yang mana dimulai pada tanggal 15 Agustus, pada peringatan Maria Diangkat ke Surga).[56]
Perang Salib (bahasa Inggris: Crusade, jamak: Crusades) merupakan serangkaian kampanye militer berselang dari tahun 1096 sampai 1487 yang disahkan oleh beberapa paus. Pada tahun 1095 Kaisar Bizantium Alexius I Komnenus mengirimkan seorang utusan kepada Paus Urbanus II untuk meminta dukungan militer dalam konflik Kekaisaran Romawi Timur dengan bangsa Turk yang melakukan migrasi ke arah barat di Anatolia (Turki masa kini).[1] Sang paus menanggapinya dengan memanggil umat Katolik untuk bergabung dengan apa yang kemudian disebut sebagai Perang Salib Pertama. Salah satu tujuan yang dinyatakan oleh Paus Urbanus adalah menjamin akses para peziarah ke tempat-tempat suci di Tanah Suci
yang berada di bawah kendali penguasa Muslim, sementara strateginya
yang lebih luas yaitu menyatukan kembali cabang-cabang Timur dan Barat
dari dunia Kekristenan setelah perpecahan mereka pada tahun 1054,
serta menetapkan diri sebagai kepala Gereja yang dipersatukan. Hal ini
mengawali suatu perjuangan yang kompleks selama 200 tahun di wilayah
tersebut.
Ratusan ribu orang dari berbagai negara dan kelas yang berbeda di
Eropa Barat menjadi tentara salib dengan mengambil suatu sumpah publik
dan menerima indulgensi penuh dari gereja tersebut.[2][3][4] Beberapa tentara salib adalah para petani yang berharap atas pengilahian di Yerusalem.[5] Paus Urbanus II mengklaim bahwa siapa pun yang ikut serta akan diampuni dosa-dosanya. Selain menunjukkan pengabdian kepada Allah, sebagaimana dinyatakan olehnya, keikutsertaan memenuhi kewajiban feodal
dan berkesempatan memperoleh manfaat ekonomi dan politik. Para tentara
salib seringkali menjarah negara-negara yang mereka lalui dalam
perjalanan, dan berlawanan dengan janji-janji mereka, para pemimpin
tentara salib menguasai banyak dari wilayah ini bukan mengembalikannya
kepada Bizantium.[3][6]
Perang Salib Rakyat memicu pembunuhan ribuan orang Yahudi, yang dikenal sebagai pembantaian Rhineland. Konstantinopel dijarah selama Perang Salib Keempat, sehingga usaha penyatuan kembali dunia Kristen pada saat itu mustahil terjadi. Pengepungan tersebut mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Bizantium dan akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Ottoman pada tahun 1453.
Para penguasa Eropa Barat tidak memberikan tanggapan yang jelas ketika
kubu pertahanan Katolik yang terakhir di wilayah tersebut, Akko, jatuh pada tahun 1291.[7]
Ada beragam pendapat terkait perilaku tentara salib, mulai dari yang
sifatnya pujian sampai yang sangat kritis. Dampak dari perang-perang
salib sangat besar; mereka membuka kembali Laut Mediterania untuk perdagangan dan perjalanan, memungkinkan perkembangan Genoa dan Venesia. Para tentara salib melakukan perdagangan dengan penduduk lokal selama perjalanan mereka, dan para kaisar Romawi Ortodoks
seringkali mengorganisir pasar-pasar bagi para tentara salib yang
bergerak melalui wilayah mereka. Perang-perang Salib menggabungkan
identitas bersama dari Gereja Latin
di bawah kepemimpinan paus, dan dianggap sebagai suatu simbol
kepahlawanan, sikap kesatria, dan kesalehan. Hal ini karenanya
melahirkan sastra, filsafat, dan roman abad pertengahan. Bagaimanapun
berbagai perang salib semakin mengukuhkan hubungan antara militerisme, feodalisme, dan Katolikisme Barat, yang mana bertentangan dengan Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah yang dipromosikan Paus Urbanus.[8]
(Perang Salib) adalah sebuah istilah modern yang berasal dari kata Perancis croisade dan Spanyol cruzada; pada tahun 1750 bentuk-bentuk dari kata "crusade" telah terbentuk sendiri dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.[9] Oxford English Dictionary mencatat penggunaannya pertama kali dalam bahasa Inggris oleh William Shenstone pada tahun 1757.[10] Ketika seorang tentara salib mengucapkan suatu sumpah (votus) untuk pergi ke Yerusalem, ia akan menerima sehelai kain salib (crux)
untuk dijahitkan di pakaiannya. Hal "mengenakan salib" ini menjadi
terkait dengan keseluruhan perjalanan, dan para tentara salib memandang
diri mereka melakukan suatu iter (perjalanan) atau peregrinatio (ziarah bersenjata). Inspirasi akan "mesianisme kaum miskin" ini merupakan suatu pengilahian (apotheosis) massal yang diharapkan di Yerusalem.[5]
Penomoran Perang-perang Salib menjadi bahan perdebatan,
beberapa sejarawan menghitung ada tujuh Perang Salib besar dan sejumlah
kecil lainnya antara tahun 1096–1291.[3] Kalangan lain menganggap Perang Salib Kelima yang melibatkan Frederik II sebagai dua perang salib, sehingga perang salib yang dilakukan oleh Louis IX pada tahun 1270 menjadi Perang Salib Kedelapan. Terkadang Perang Salib Kedelapan ini dianggap dua, sebab yang kedua dianggap sebagai Perang Salib Kesembilan.
Pandangan pluralistik mengenai Perang-perang Salib berkembang selama
abad ke-20, "Perang Salib" dianggap mencakup semua kampanye militer di Asia Barat atau di Eropa yang direstui oleh kepausan.[11]
Perbedaan utama antara Perang-perang Salib dan perang suci lainnya
adalah bahwa pengesahan untuk melakukan Perang-perang Salib bersumber
langsung dari paus, yang mengaku melakukannya atas nama Kristus.[12]
Dikatakan demikian karena mempertimbangkan pandangan Gereja Katolik
Roma dan mereka yang hidup pada zaman abad pertengahan, seperti Santo Bernardus dari Clairvaux, yang mana memberikan prioritas setara untuk kampanye militer yang dilakukan untuk alasan politik dan untuk memerangi paganisme dan bidah. Definisi yang luas ini mencakup penganiayaan terhadap kaum bidah di Perancis Selatan, konflik politik antara umat Kristen di Sisilia, penaklukan kembali Iberia oleh kaum Kristen, dan penaklukan atas kaum pagan di Baltik.[13] Suatu pandangan yang lebih sempit adalah bahwa Perang-perang Salib merupakan perang pertahanan diri di Levant terhadap kaum Muslim untuk membebaskan Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim.[14]
Para paus secara periodik menyatakan perang-perang salib politik
sebagai sarana penyelesaian konflik di antara kaum Katolik Roma; dari
pengertian ini, yang pertama dinyatakan oleh Paus Innosensius III terhadap Markward von Annweiler pada tahun 1202.[15] Yang lain misalnya perang salib melawan kaum Stingers, beberapa perang salib (yang dinyatakan oleh sejumlah paus) melawan Kaisar Frederik II dan para putranya,[16] dan dua perang salib melawan para musuh Raja Henry III dari Inggris yang mana mendapatkan keistimewaan-keistimewaan setara sebagai para peserta dalam Perang Salib Kelima.[17]
Suatu istilah umum bagi kaum Muslim adalah Saracen; sebelum abad ke-16, kata-kata "Muslim" dan "Islam" jarang digunakan oleh orang Eropa.[18] Dalam bahasa Yunani dan Latin, kata "Saracen" berasal dari awal milenium pertama untuk merujuk pada orang-orang selain bangsa Arab yang mendiami daerah gurun di sekitar Provinsi Romawi Arabia.[19][20] Istilah tersebut berkembang sehingga mencakup suku-suku Arab, dan pada abad ke-12 menjadi penanda religius dan etnis yang disamakan artinya dengan "Muslim" dalam literatur berbahasa Latin abad pertengahan.[21][22] Istilah orang Latin dan Franka digunakan selama Perang-perang Salib bagi orang Eropa Barat, untuk membedakan mereka dari orang Yunani.[23][24]
Penulisan sejarah
Selama masa Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi pada abad ke-16, para sejarawan memandang Perang-perang Salib melalui kaca mata keyakinan religius mereka masing-masing. Kaum Protestan memandangnya sebagai suatu wujud dari kejahatan kepausan, dan kaum Katolik memandangnya sebagai pemaksaan kekuatan demi kebaikan.[25] Para sejarawan Abad Pencerahan cenderung melihat Abad Pertengahan
secara umum, dan Perang-perang Salib tersebut secara khusus, sebagai
berbagai upaya dari budaya-budaya barbar yang didorong oleh fanatisme.[26] Saat awal periode Romantik pada abad ke-19, pandangan keras seputar Perang-perang Salib dan zamannya telah melunak;[27] keilmuan di kemudian hari pada abad tersebut menekankan pengkhususan dan detail.[28]
Para akademisi Abad Pencerahan dari abad ke-18 dan para sejarawan
Barat modern mengungkapkan kemarahan moral atas perilaku para tentara
salib. Pada tahun 1950-an Steven Runciman menulis, "Cita-cita yang tinggi ternoda oleh kekejaman dan keserakahan ... Perang-perang Suci tersebut tidak lebih dari suatu tindakan intoleransi yang lama dalam nama Allah".[29] Abad ke-20 menghasilkan tiga tulisan sejarah yang penting tentang Perang-perang Salib: oleh Runciman, René Grousset, dan suatu karya dari berbagai penulis yang disunting oleh K. M. Stetton.[30]
Selama abad itu, dikembangkan dua definisi mengenai Perang-perang
Salib; salah satunya mencakup semua upaya yang dipimpin oleh paus di
Asia Barat dan Eropa,[11] namun sejarawan Thomas Madden
menulis, "Perang salib, yang pertama dan terutama, merupakan suatu
perang terhadap kaum Muslim demi membela iman Kristen ... Mereka
memulainya sebagai suatu akibat dari penaklukan kaum Muslim atas
wilayah-wilayah kaum Kristen." Madden menuliskan bahwa tujuan dari Paus
Urbanus adalah bahwa "umat Kristen dari Timur harus terbebas dari
kondisi-kondisi yang memalukan dan kejam di bawah kekuasaan Muslim."[14]
Setelah jatuhnya Akko
pada tahun 1291, dukungan Eropa untuk Perang-perang Salib terus
berlanjut meskipun ada kritikan dari berbagai orang pada zaman tersebut
(misalnya Roger Bacon,
yang percaya bahwa perang-perang itu tidak efektif: "Mereka yang
bertahan hidup, bersama-sama dengan anak-anak mereka, adalah lebih dan
lebih lagi disakiti hatinya terhadap iman Kristen").[31] Menurut sejarawan Norman Davies, Perang-perang Salib bertentangan dengan Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah yang didukung oleh Paus Urbanus dan memperkuat hubungan antara militerisme, feudalisme,
dan dunia Kristen Barat. Pembentukan ordo-ordo religius militer
mengejutkan kaum Bizantium Ortodoks, dan para tentara salib menjarah
negara-negara yang mereka lalui dalam perjalanan mereka ke timur. Dengan
melanggar sumpah mereka untuk mengembalikan wilayah kepada kaum
Bizantium, mereka seringkali mempertahankan wilayah tersebut untuk
dimilki sendiri.
[3][32][33] Permulaan Perang Salib Rakyat memprakarsai terjadinya suatu pogrom
di Rhineland dan pembantaian ribuan orang Yahudi di Eropa Tengah;
selama abad ke-19 akhir, perang salib ini digunakan oleh beberapa
sejarawan Yahudi untuk mendukung Zionisme.[34] Perang Salib Keempat mengakibatkan perampokan atas Konstantinopel, sehingga secara efektif mengakhiri segala kesempatan mendamaikan Skisma Timur–Barat dan menyebabkan jatuhnya Kekaisaran Bizantium
kepada kekuasaan Ottoman. Para sejarawan Abad Pencerahan mengkritik
salah sasarannya Perang-perang Salib—khususnya Perang Salib Keempat—yang
mana menyerang suatu kekuasaan Kristen (Kekaisaran Bizantium) bukannya
kekuasaan Islam. David Nicolle menyebutkan kontroversi Perang Salib
Keempat dalam "pengkhianatan" atas Bizantium karyanya,[35] dan dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire Edward Gibbon menuliskan bahwa upaya-upaya para tentara salib akan lebih efektif jika memperbaiki negara-negara mereka sendirdi.
(Dikutip melalui wikipedia refrensi sementara)
(Dikutip melalui wikipedia refrensi sementara)
sejarah lahirnya perang salib
Reviewed by Sepintas Kabar
on
June 18, 2017
Rating:
No comments:
Post a Comment