Penggal kepala terhadap para musuh atau yang kerap dikenal pada
masyarakat dengan istilah “Hakayau”
atau “Ngayau” merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan. Di
antara suku tersebut yakni Dayak Iban dan Dayak Kenyah.
Lain
halnya, bagi Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah tradisi ngayau bukan
hanya pada saat peperangan, tapi juga dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan
Tiwah atau upacara kematian guna mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah
meninggal dunia menuju langit ke tujuh.
Adapun dalam pelaksanaan Tiwah dari
Daya Ngaju, untuk kepala hasil ngayau ditanam di bawah tiang “Sapundu”,
diyakini bahwa di langit ke tujuh roh atau jiwa pemilik kepala itu akan menjadi
“jipen” atau pelayan bagi jiwa yang ditiwahkan. Dan sasaran mereka
biasanya adalah lelaki yang terlihat kuat untuk berkelahi, sebab semakin kuat
buruannya maka akan semakin bagus upacara Tiwah.
Acara Tiwah
Sumber foto : Collectie Tropen Museum. Geeziicht vanaf de kahajan Rivier op de Daja Borneo via id.wikipedia.org
Akhirnya, Perang Kayau yang terjadi antar suku Dayak
di pedalaman tersebut ternyata diketahui pihak pemerintah Hindia Belanda
(hedehh) yang berkedudukan di Nanga Pinuh Kalimantan Barat yang berusaha
mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian tersebut dengan cara berusaha
untuk menghentikan perang Kayau yang sedang terjadi dan berusaha untuk
menetapkan keseragaman hukum adat untuk seluruh masyarakat suku Dayak di
Kalimantan.
Sementara itu, Kepala Suku Dayak Kahayan yakni Damanang
Batu di Tumbang Anodi Pulau Puruk, Bukit Batu Desa Tumbang Manange atau Upon
Batu (sekarang Kecamatan Tewah). tokoh masyarakat Dayak ini berinisiatif untuk
melakukan pertemuan damai antara para pemimpin suku Dayak dari seluruh
Kalimantan.
Hingga pada tahun 1874, Damang Batu berhasil mengumpulkan
sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan musyawarah bernama Tumbang Anoi (kini ialah
salah satu desa yang berada di Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah). Hasil dari pada perjanjian tersebut, semua suku
Dayak sepakat untuk mengakhiri tradisi ngayau atau mangayau karena dianggap
menimbulkan perselisihan diantara suku Dayak.
Desa Tumbang Anoi
Sumber Foto : Collectie Tropen Museum, tahun 1894
Selain itu,
dari dalam bukunya Pakat Dayak, KMA M Usop disebutkan, Brus, Residen Belanda
Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang
terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya
perdamaian.
Pada
pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan
seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi
akar perselisihan. Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan
mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai.
Satu-satunya
kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu
adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi.
Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun
langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.
Selama
lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di Desanya. Ia
terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makan an. Ada cerita lain
yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makan
an para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya
membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang
Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala
suku-kepala suku di daratan Kalimantan.Sebanyak 152 suku diundang ke Tumbang
Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli
1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah
pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo.
Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, diantaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, diantaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
Di tambah
lagi, dalam catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Perjanjian Tumbang Anoi itu juga
membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24
perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57
ditolak karena kekurangan bukti.
Tradisi Penggal Kepala Berakhir di Tumbang Anoi
Reviewed by Sepintas Kabar
on
January 29, 2019
Rating:
No comments:
Post a Comment