HOUSMANN BABOE: ORGANISATORIS DAN PEJUANG PERS DARI BUMI TAMBUN BUNGAI (1919-1943)


Keberadan media massa atau pers dari zaman dahulu hingga era milenial mungkin tidak asing lagi di telinga masyakarat Indonesia. Apalagi pada masa berkembang pesatnya tekhnologi, kini informasi dapat diakses secara cepat. Mulai dari perkembangan pemerintahan maupun kejadian-kejadian pada masyarakat, di antaranya dalam hal bidang sosial, ekonomi dan pendidikan, kini bisa diakses hanya dengan gadget yang ada dalam genggaman.

Perkembangan media di Indonesia ternyata penuh warna. Awal mula dunia persuratan kabaran di Indonesia, menurut De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia (1923), mengungkap bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede pada tahun 1676.
Dari masa Hindia Belanda kemudian pers berkembang di masa pendudikan Jepang, yang berlangsung dari 1942 hingga 1945. Para wartawan dari kalangan media cetak (pers) Indonesia tidak hanya berjuang dengan ketajaman penanya saja. Akan tetapi, dengan jalan lain seperti mengikuti organisasi keagamaan, pendidikan dan politik. Hal ini ditempuh karena pada masa Jepang, kalangan pers Indonesia tertekan. Tidak jauh berbeda dengan keberadan surat kabar lokal pada Hindia Belanda yang dilarang beredar.
Seiring perjalanan waktu, pers di Indonesia dapat dikatakan mengalami kemajuan dalam hal teknis, namun pada sisi lian mulai diberlakukannya juga izin penerbitan pers. Surat kabar di Indonesia yang semula berusaha dan independen dipaksa bergabung menjadi satu. Segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan dari tentara Jepang memenangkan Dai Toa Senso atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat propaganda Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah berita yang pro-Jepang.
Menjelang kemerdekaan tahun 1945, pers pun turut berperan. Mulai kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia dari persiapan hingga pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya melibatkan tokoh besar mulai Soekarno, dan Hatta Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, hingga Sutan Sjahrir. Akan tetapi, sejumlah wartawan pun turut serta aktif terlibat dalam perjuangan tersebut.
Dapat ditarik benang merah bahwa keberadaan pers dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Dari sekian banyak pejuang kemerdekaan Indonesia yang berprofesi wartawan, satu diantaranya adalah pejuang dari suku Dayak, Kalimantan yang dikenal dengan Bumi Tambun Bungai (Kalimantan Tengah), Housmann Baboe.
Housmann Baboe memulai kiprahnya dalam perjuangan pada dunia pers sejak Juli 1919 di Kalimantan Tengah. Perjuangan dan pengabdiannya tidak bisa dipandang sebelah mata, baik pada dunia pers maupun perjuangannya dalam kemerdekaan tanah air. Hal ini dibuktikannya dengan mendirikan majalah Soeara Pakat yang berisikan perlawanan rakyat terhadap para colonial di masa Hindia Belanda.
Housman Baboe adalah seorang putera asli Dayak Ngaju yang dilahirkan pada Desa Hampatong, Kabupaten Kuala Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1880. Ayahnya bernama Joesoea Baboe dan Ibunya bernama Soemboel merupakan anak dari Patih Andoeng, dan cucu dari Tamanggung Ambo Nikodemus. Kakeknya adalah tokoh yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Belanda karena terlibat dalam Perang Banjar (1859-1863).
Housman Baboe dikenal akrab sebagai wartawan ulet dan gigih. Kemudian, sebagai tokoh pergerakan nasional yang memiliki peranan sangat penting dalam pergerakan organisasi Pakat Dayak. Selain itu juga, dirinya sangat akrab dengan tokoh nasional yakni H.O.S. Tjokroaminoto.
Marko Mahin dalam bukunya berjudul Tokoh Pergerakan Rakyat Dayak yang Terlupakan (2006), Housmann Baboe adalah anak keenam dari sembilan bersaudara yaitu Demen Baboe, Arnold Baboe, Martina Baboe, Enoes Baboe, Efrain Baboe, Housmann Baboe, Yohan Baboe, Raginae Baboe dan Magdalena Baboe. Nasibnya pada saat, juga termasuk orang yang beruntung karena dapat mengenyam pendidikan pada Sekolah Zending di Hampatong, Kabupaten Kuala Kapuas.
Housmann Baboe yang berasal dari etnis Dayak Ngaju, mengawali  perjalananan dan perjuangan hidupnya dengan meniti karir di bidang jurnalistik. Bermula pada awal tahun 1905 di Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan) berkolaborasi putera-putera Kalimantan lainnya seperti A. Atjil, Amir Hassan Bondan dan Mohammad Horman, menjadi wartawan pada media Harian Sinar Borneo yang dipimpin oleh Mozes Ness yang berdarah Indo-Belanda.
Selanjutnya, pada tahun 1914 menjadi wartawan Harian Pengharapan yang dipimpin oleh pimpinan Tie Ie Sui dan Oei Tek Hong. Disamping itu juga, Housmann Baboe pun sejak tahun 1915 membantu Majalah Bulanan Barita Bahalap (BB) yang diterbitkan di Kuala Kurun. Majalah ini berdiri sejak tahun 1912 sekaligus merupakan majalah pertama, dan penerbitannya pun di wilayah Kalimantan Tengah. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda wilayah ini disebut Afdeling Kapoeas Barito.
Pada tahun 1920 Housmann Baboe mendirikan Koperasi Dagang Dayak untuk menghadapi pemodal-pemodal Cina. Apa alasan Housmann Baboe mendirikan koperasi tersebut? Hampir sama dengan kasus Sarekat Islam berdiri di Lawean Solo pimpinan Rekso Reomekso, menghadapi aksi organisasi Kong-Sing di tahun 1911 dalam pencurian batik, sehingga dikenal dengan nama ronda.Pada dekade tahun 1920 an,  Housmann Baboe juga diangkat menjadi pegawai birokrasi Pemerintah Hindia Belanda di jajaran Ambetenaar Inlandsch Bestuur (AIB), Pejabat Pangareh Praja memegang jabatan Kepala Pemerintahan Distrik (Districthoofd) yang bergelar Kiai. Pada masa sekarang setingkat Camat.
 Kiprah Housmann Baboe semakin terang karena pernah bertugas di kawasan Keresidenan Timur dan Selatan Pulau Kalimantan seperti, di Paser (Kalimantan Timur), Kuala Kurun, Kuala Kapuas dan Banjarmasin. Namun demikian, karena kesibukannya dalam perjuangan pergerakan kebangsaan, maka pada bulan Februari tahun 1922, akhirnya ia berhenti bekerja pada Dinas Pemerintahan Belanda.
Selama menjabat sebagai kepala Distrik Kuala Kapuas, Housmann Baboe mendirikan sekolah yaitu Sekolah Dayak Belanda atau Hollandsche Dayak School (HDS). Sekolah ini terletak di Desa Hampatong di sepanjang pinggiran Sungai Murung yang dipimpin Mahir Mahar. Tujuannya, masyarakat Dayak dapat juga mengeyam pendidikan, karena waktu itu pribumi dilarang untuk bersekolah di OSVIA, sekolah bagi pegawai negeri pribumi. Kini, tempat tersebut ini berubah alih fungsi menjadi gudang penggilingan dan penyimpanan padi. Uniknya pada pembangunan sekolah HDS tersebut tanpa didukung dana dan SDM dari pemerintah kolonial Belanda.
Berselang beberapa tahun, Housmann juga mendirikan Sekolah Dasar Swasta di daerah Mantangai. Adapun sekolah-sekolah ini ditujukan khusus bagi Orang Dayak agar mampu menghasilkan orang-orang yang berpikiran kritis dan pintar. Beliau juga menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi Dayak pertama di Kalimantan yaitu Sarikat Dayak tahun 1919. Organisasi ini beranggotakan, M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian L. Kamis, Tamanggung Toendan, Achmad Anwar dan Mohamad Norman. Sarikat Dayak kemudian berubah nama menjadi Pakat Dayak di tahun 1926 yang berkedudukan di Kuala Kapuas. Housmann Baboe sempat juga menerbitkan Surat kabar Harian Soeara Borneo di Banjarmasin bersama-sama Mohamad Horman, Saleh Ba’ala dan Amir Hassan Bondan.
Terdapat latar belakang dibentuknya organisasi Sarikat Dayak yang kemudian berubah menjadi Pakat Dayak. Organisasi tersebut merupakan bagian dari kesadaran kebangsaan yang telah menyebar ke pelosok tanah air. Tidak terkecuali di kalangan suku Dayak. Pada tanggal 18 Juli 1919 bertempat di Gereja Hampatong Kuala Kapuas berdiri organisasi Sarikat Dayak. Pada masa pembentukannya, organisasi ini mendapat perhatian besar dari para tokoh masyarakat setempat.
Adapun yang terpilih menjadi pengurus Sarikat Dayak untuk pertama kalinya adalah, Ketua dan Wakil Ketua yakni, M Sahabu dan W. Adam, Kemudian, Sekretaris I dan II dijabat Ph. Sinar dan E. Sandan, dan Bendahara yaitu B. Tubil. Selanjutnya, komisarisnya masing-masing Djilan dan PL Obos, serta S. Sandan sebagai Penasehatnya. Terbentuknya organisasi tersebut bertujuan membantu dan membela kepentingan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya Sarikat Dayak melaksanakan program di bidang ekonomi, dengan mendirikan Koperasi Dayak yang dikepalai Lui Kumis. Alhasil, usaha ini cukup berhasil meningkatkan kesejahteraan para anggotanya.
Dalam buku Sejarah Kalimantan Tengah (2006), setelah Housmann Baboe yang menjadi ketua Sarikat Dayak -kemudian berubah nama menjadi Pakat Dayak-, pada tahun 1929 menerbitkan Majalah Soeara Pakat sebagai alat perjuangan. Majalah ini mempunyai segmen pembaca yang cukup luas. Bahasa yang dipakai adalah Bahasa Indonesia dan secara berkala menyajikan tulisan atau artikel dalam Bahasa Dayak Ngaju.
Memasuki tahun 1930, Pakat Dayak dengan gigih memperjuangkan tuntutan masyarakat kepada pemerintah Hindia Belanda, agar dalam Dewan Rakyat (Volksraad) di Batavia ada perwakilan Suku Dayak. Pada tahun tersebut, bertempat di Banjarmasin dilangsungkan pertemuan para tokoh suku Dayak dari Pontianak, Samarinda dan dari Pulau Jawa untuk mempersiapkan program yang disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pada masa itu. Termasuk memperbaharui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Statuten Huishoudelijk Reglement) Pakat Dayak.
Selanjutnya pada tahun 1934, kedudukan Pakat Dayak dipindahkan ke Banjarmasin, dengan pertimbangan agar pengurus besar Pakat Dayak lebih lancar menggulirkan kegiatannya. Antara lain mengelola Majalah Soeara Pakat. Kemudian pada tanggal 20 Agustus 1938 terbentuk kepengurusan baru organisasi Pakat Dayak, yakni dipimpin Mahir Mahar dengan tetap meneruskan cita-cita Sarikat Dayak dan mengaktifkan Komite Kesadaran Suku Dayak. Perhatian dan dukungan masyarakat Dayak terhadap Pakat Dayak sungguh besar dan menyebar dengan berdirinya cabang-cabang di kawasan Kalimatan Selatan, Kalimantan Barat dan Timur. Bahkan di Pulau Jawa terbentuk dua cabang, yakni Bandung dan Surabaya.
Dari catatan Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah (1978/1979) tertulis, terbentuknya Sarikat Dayak sangat unik.  Pendukung atau pencetusnya mula-mula, diadakan rapat pembentukan dengan menggunakan gedung gereja di Kuala Kapuas. Penggunaan gedung gereja tersebut hanyalah suatu siasat belaka agar tidak dicegah oleh penguasa Kolonial. Adapun pelaksanaannya dimulai dengan mengadakan kebaktian atau sembahyang.
Pemimpinnya-pemimpinnya adalah para wakil bumi-putera yang menjadi pegawai pemerintah Belanda. Seperti diketahui, pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda melarang pegawai-pegawai pemerintah masuk dalam Partai Politik. Untuk menghindari kategori Partai Politik ditempuh jalan dengan menamakan wadah yang dibentuk tersebut dengan Sarikat Dayak, berbentuk organisasi sosial non-politik.
Sarikat Dayak didirikan Housmann Baboe yang saat itu menjabat menjadi Kepala Distrik yang berkedudukan di Kuala Kapuas. Kemudian dibantu M. Lampe yang waktu itu seorang adjuct Jaksa. Organisasi ini  bertujuan mengembalikan rasa harga diri yang diinjak-injak kaum penjajah serta menanamkan rasa memiliki. Selain itu, ingin menghimpun dan memperkuat solidaritas untuk bersama berjuang memperbaiki nasib dengan tolong-menolong, serta memperhatikan pendidikan anggota-anggotanya.
Organisasi ini didirikan tidak memandang aliran faham politik dan keagamaan. Akan tetapi lebih mengutamakan kebersamaan dan persatuan mencapai kejayaan. Karena gerakan dan usaha organisasi Sarikat Dayak ini tidak mencantumkan gerakannya sebagai suatu Partai Politik, pemerintahan Belanda di Kalimantan Tengah masih memperkenankan organisasi ini hidup dan melebarkan sayapnya ke seluruh Kalimantan Tengah.
Adapun program utama dari organisasi ini adalah bergerak dalam bidang pendidikan. Alasannya, karena melalui pendidikan dapat diberikan fikiran-fikiran tentang cita-cita bangsa, dimana anak-anak yang dididik adalah kader-kader yang akan meneruskan cita-cita bangsa yang merdeka. Kemerdekaan yang telah diinjak-injak sistem pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Tengah, harus direbut kembali dan harus dihormati bangsa lain.
Ternyata perjuangan Housman Baboe tidak sampai disiitu. Dari buku Tokoh-Tokoh Pejuang Kalimantan Tengah, Peran dan Pemikirannya (2007) tertulis pada tahun 1923-1924 melalui pemikiran Housman Baboe melakukan pertemuan dengan mendirikan National Borneo Congres di Banjarmasin. Kongres ini diikuti seluruh wakil lokal Sarikat Islam yang berada di Karesidenan Selatan dan Timur Borneo serta wakil dari Sarikat Dayak.
Seterusnya, Pada kongres Sarekat Islam di Banjarmasin ini, Housmann Baboe diberi kuasa menyampaikan mosi kepada Gubernur Jenderal Belanda dan Majelis Voklksraad dengan isi antara lain, Bea impor 8% dari tanaman rotan dihapuskan, karena sudah dikenakan pajak pendapatan. Kemudian pengembalian uang pajak penyembelihan yang diambil pemerintah Belanda secara tidak sah. Hal ini terutama dari permohonan yang datang dari masyarakat Kuala Kapuas dan tanah Dayak.
Sementara itu, dari masyarakat Muara Teweh dan Dusun Tengah merasa keberatan dengan pembukaan tambang batubara di daerah tersebut untuk perusahaan asing. Alasannya, dikhawatirkan merusak pertambangan rakyat dan merusak tanaman rakyat. Mereka juga meminta agar di wilayah Kuala Kapuas didirikan HIS dan Sekolah Gobernemen Kelas III. Selain itu, juga membuat Nota Protes terhadap Belanda atas pelarangan kedatangan HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim ke Banjarmasin.
Pada tahun sama yakni 1926 kiprah Housmann Baboe kembali aktif dalam dunia jurnalistik,. Dalam artikel yang ditulis T.T Suan tertilis Housmann Baboe di Banjarmasin mendirikan kantor berita pertama di Indonesia atau Hindia Belanda, waktu itu bernama BORPENA (Borneosche Pers en Nieuws Agentschap). Pada tahun 1928, Kantor Berita BORPENA berganti nama menjadi KALPENA (Kalimansche Pers en Nieuws Agentschap). Kantor Berita KALPENA akhirnya tutup pada akhir 1930, karena kalah bersaing dengan Kantor Berita Belanda ANETA (Algemeen Nieuws en Telegraf Agentschap).
Pada tahun 1934, redaksi majalah Soeara Pakat dipindahkan ke Banjarmasin. Majalah Soeara Pakat dipimpin E.S. Handuran bersama-sama Badan Pengasuh dan para wartawan generasi muda Suku Dayak terkemuka, yaitu M. Mahar, C. Luran, Chr. Nyunting, Nona Bahara Nyangkal dan Tjilik Riwut. Majalah Soeara Pakat banyak menyuarakan semangat dan cita-cita kebangsaan yang menjadi dasar perjuangan Pakat Dajak.
Karir Housmann Baboe dalam bidang jurnalistik berakhir tahun 1937. Uniknya dalam menjalani profesi tersebut ternayata tidak pernah meminta imbalan gaji atau honor. Mata pencahariannya dengan berdagang, dan dibantu menantunya yakni Kawit Dau. Sementara usaha sampingannya dilakukannya dengan membeli keramik dan barang-barang antik milik orang Dayak di pedalaman, seperti kulit buaya, ular dan biawak dan juga hasil bumi. Kemudian barang-barang tersebut kemudian dijual ke Surabaya dan pulangnya membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat Dayak.
Usahanya cukup berhasil sehingga dapat memiliki sebuah rumah besar di daerah Pekapuran pada kota Banjarmasin. Dalam catatan Marko Mahin (2006), Housmann Baboe menjadi orang pertama di Banjarmasin yang memiliki mobil dan supir pribadi, serta juga memiliki kapal motor dengan nama Edna, yang digunakan untuk menjalankan usahanya.
Kehidupan Housmann Baboe berakhir di masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pada bulan Agustus 1943, Housmann Baboe ditangkap oleh Keibitai (pasukan Polisi Militer Jepang) di Kuala Kapuas. Selanjutnya dipenjarakan di Fort Tatas yang sekarang menjadi Masjid Sabilal Muhtadin. Dia juga disiksa secara kejam bersama-sama para tawanan antara lain Dr. B.J. Haga, Gubernur Borneo, dr. Visser berkebangsaan Swiss dokter Zending dan Kepala Rumah Sakit Umum Gereja Dayak Evangelis (RSU-GDE) Kuala Kapuas. Kemudian pada tanggal 20 Desember 1943, Housmann Baboe bersama-sama dengan 250 orang lainnya, termasuk Gubernur B.J. Haga dan dr Visser, dihukum mati di Banjarmasin oleh Keibitai Jepang dengan tuduhan melakukan subversi.
Dalam artikel Wajidi, tertulis nama daftar korban kekejaman masa penjajahan Jepang seperti, C.M. Vischer (umur 47), S. Raden Soesilo (umur 50), Antiro Santeago Pereira (umur 53), Cosa Kakarico, L.J. Brandon (umur 50), G.D.E. Braches (umur 40), Housmann Baboe (umur 53), Makaliwij (umur 37), Oe Ley Koey (umur 38), Phoa Hok Tjwan (umur 49), A. Roman (umur 26), A.C.W. Wardenier (umur 45), Den Hartog (umur 35), Y. De Vries (umur 33), orang Belanda, W.A. Verpalen (umur 36), M.C. Bais (umur 34), Beukers (umur 39), L.W.Y. Bouhuis, Willem Philipsen (umur 37), G.J. Van der Kooi (umur 33), A.H.V.H. Linden (umur 31), N.G. Haga (umur 45), Betty Vischer (umur 43), Braches (umur 32), Nelina Verpalen (umur 36), dan Z.C. Reichert (umur 40).
Pada sumber lain menyebutkan, bahwa tempat pembantaian diperkirakan dilakukan para pasukan Jepang tersebut adalah di Lapangan Terbang Ulin. Kini terletak sekitar 28 kilometer dari Kota Banjarmasin. Pada tempat tersebut telah ditemukan 150 buah tengkorak, 30 orang meninggal karena disiksa, sisanya 26 orang lagi termasuk 5 orang perempuan dan pegawai yang dibunuh Jepang pada 20 September 1943. Hingga sekarang pejuang dari tanak Dayak ini tidak memiliki makam, dan jasadnya pun tidak dapat ditemukan.
Berdasarkan perjuangan dan pengabdian Housman Baboe dalam pada bidang jurnalistik, kemudian kecintaanya terhadap tanah air khususnya terhadap tanah Provinsi Kalimantan Tengah, maka pemerintah Daerah Kalimantan Tengah berdasarkan surat keputusan Gubernur KDH Kalimantan Tengah Nomor 5/Pem.326-C.2-3 tanggal 8 Mei 1962, nama Housmann Baboe digunakan sebagai nama jalan di Kalimantan Tengah.
Kemudian terdapat sederet jasa-jasa Housmann Baboe baik sebagai wartawan, maupun sebagai penerbit Surat Kabar dan pendiri Kantor Berita Pertama di negeri ini. Untuk menghargai jasanya, pihak PWI Kalimantan Selatan dan Kanil Deppen Kalimantan Selatan pernah mengajukan usul kepada pemerintah Pusat Republik Indonesia agar Housmann Baboe dan tokoh-tokoh pers lainnya seperti A.A Hamidan, Amir Hasan Bondan dan Mohamad Horman Horman diberikan gelar Perintis Pers Kemerdekaan.
Pada Peringatan Hari Pers atau HUT PWI Ke-50, tepat tanggal 9 Februari 1996 Ketua PWI Cabang Kalimantan Tengah menganugerahkan Piagam Penghargaan kepada tokoh Perintis Pers Kalimantan Tengah yakni Housmann Baboe. Piagam Penghargaan diserahkan kepada yang mewakili keluarga almarhum dalam sebuah upacara yang berlangsung di Balai PWI Kalimantan Tengah di Jalan R.T.A. Milono, Kota Palangka Raya, kalimantan Tengah.
Mungkin nama Housmann Baboe di luar maupun di Provinsi Kalimantan Tengah belum setenar dan menjadi pahlawan Nasional seperti Tjilik Riwut. Namun, banyak nilai yang dapat diambil dari sosok Housmann Baboe khususnya dalam memperjuangkan pers serta sikap nasionalismenya pada masa Kolonial Belanda dan Jepang. Apalagi, bilamana sejarah yang diajarkan dilingkungan sekolah adalah seorang tokoh yang dinarasikan sebagai sosok sempurna tanpa cacat-cela penuh dengan mistik yang melingkupi dirinya. Begitu juga dengan sejarah tokoh lokal yang ditulis di Kalimantan Tengah, sosoknya selalu dianggap tabu untuk dibicarakan, serta penuh dengan mistik.

                     Housmann Baboe
Sumber foto : koleksi foto internet

Sosok tokoh Housmann Baboe kalau dikaji secara secara mendalam adalah inspirasi dari gerakan pembebasan. Sosok yang sangat mudah didiskusikan, diceritakan dalam fase sejarah kemanusiaan. Nasionalisme dan rasa bangganya sebagai Suku Dayak dibawa dalam sebuah konteks ideologi pembebasan dari belenggu dan image-image tentang Dayak. Suku Dayak selama ini hanya digambarkan sebagai sosok yang kemana-kemana membawa mandau dan adegan eksotis kayau (potong kepala) yang menakutkan, dan selalu diceritakan bangsa-bangsa Eropa terhadap khalayak.
Sosok Housmann Baboe sangat pemberani dan selalu tampil ke depan dalam menentang kolonialisme dengan petisi dan mosinya. Kemudian menyelenggarakan rapat politik dan bersama-sama Suku Dayak memperjuangkan nasibnya agar sejajar dengan suku lainnya. Nasionalisme dan integrasi Dayak dalam bingkai persatuan sudah muncul di masa Housmann Baboe dengan organisasi yang didirikannya yaitu Pakat Dayak. Hasil dari kolaborasi Pakat Dayak dengan Sarekat Islam membawa Pakat Dayak melewati batas-batas etnisitas dan Agama. Indahnya persatuan tanpa sekat etnis dan Agama.
Pada era milenial, nilai-nilai kejuangan Housmann Baboe, patut ditiru dan diteladani. Dengan mengetahui sejarah tokoh-tokoh lokal di Bumi Tambun Bungai, Tentunya akan membuka wawasan sehingga dapat mewujudkan rasa mencintai dan meneladani nilai-nilai tokoh pahlawan yang telah berjasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dengan mengetahui perjuangan Housmann Baboe akan bermanfaat sebagai upaya dalam membentuk generasi millennial, generasi emas yang melek sejarah. Kemudian bermanfaat menanamkan attitude atau pembelajaran pembentukan karakter yang baik sehingga generasi muda tidak hanya unggul secara akademik maupun non akademik. Akan tetapi juga memiliki ketulusan hati untuk membangun bangsa yang lebih baik kedepan. Selanjutnya, sebagai bahan suplemen pembelajaran sejarah lokal, dalam rangka memberikan kompetensi dalam menghadapi tantangan era millenium. Sebagai bahan komunikasi bagi generasi muda sebagai kaum millenial dalam mengenal sejarah lokal di daerah sendiri, khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah.





DAFTAR PUSTAKA

Ahim S. Rusan Dkk. 2006. Sejarah Kalimantan Tengah. Program Pengelolaan Kekayaan Budaya Provinsi Kalimantan Tengah.

Bambang Suwondo. 1978/1979. Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah.

Marko Mahin. 2006. Housmann Baboe: Tokoh Pergerakan Rakyat Dayak yang Terlupakan. Jakarta : Keluarga Housmann Baboe.

Pembayun Sulistyorini Dkk. 2007. Tokoh-Tokoh Pejuang Kalimantan Tengah, Peran dan Pemikirannya. Kalimantan Tengah: BPSNT Pontianak.

TT. Suan. 2011. Hausmann Baboe Perintis Pers Dari Kalimantan Tengah di https;//jurnal toddoppuli.wordpress.com (di akses 15 Juni).

Wajidi. 2011. Pembunuhan Kompoltan Haga Di Borneo Selatan di https://bubuhanbanjar. wordpress,com (di akses 17 Juni).


HOUSMANN BABOE: ORGANISATORIS DAN PEJUANG PERS DARI BUMI TAMBUN BUNGAI (1919-1943) HOUSMANN BABOE: ORGANISATORIS DAN PEJUANG PERS  DARI BUMI TAMBUN BUNGAI (1919-1943)   Reviewed by Sepintas Kabar on August 19, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.