Keberadan
media massa atau pers dari zaman dahulu hingga era milenial mungkin
tidak asing lagi di telinga masyakarat Indonesia. Apalagi pada masa berkembang
pesatnya tekhnologi, kini informasi dapat diakses secara cepat. Mulai dari perkembangan
pemerintahan maupun kejadian-kejadian pada masyarakat, di antaranya dalam hal bidang
sosial, ekonomi dan pendidikan, kini bisa diakses hanya dengan gadget
yang ada dalam genggaman.
Perkembangan media di
Indonesia ternyata penuh warna. Awal mula dunia
persuratan kabaran di Indonesia, menurut De Haan dalam bukunya,
“Oud Batavia (1923), mengungkap bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah
berkala dan surat kabar. Pada tahun 1676 di Batavia telah terbit
sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari
Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman,
Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van
den Eede pada tahun 1676.
Dari masa Hindia Belanda
kemudian pers berkembang di masa pendudikan Jepang, yang berlangsung dari 1942 hingga 1945. Para wartawan dari kalangan
media cetak (pers) Indonesia tidak hanya berjuang dengan ketajaman penanya saja. Akan tetapi, dengan jalan lain seperti mengikuti organisasi keagamaan, pendidikan dan politik. Hal ini ditempuh karena pada masa Jepang, kalangan pers Indonesia tertekan. Tidak jauh berbeda dengan
keberadan surat kabar lokal pada
Hindia Belanda yang dilarang beredar.
Seiring perjalanan waktu, pers di Indonesia dapat dikatakan mengalami
kemajuan dalam hal teknis, namun pada sisi lian mulai
diberlakukannya juga izin penerbitan pers. Surat kabar di
Indonesia yang semula berusaha dan independen dipaksa bergabung
menjadi satu. Segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana
serta tujuan dari tentara Jepang memenangkan Dai Toa Senso atau Perang Asia
Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat propaganda Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat
hanyalah berita yang pro-Jepang.
Menjelang kemerdekaan tahun
1945, pers pun turut berperan. Mulai kegiatan
penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia dari persiapan hingga pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya melibatkan tokoh besar mulai Soekarno,
dan Hatta Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, hingga Sutan Sjahrir. Akan tetapi, sejumlah
wartawan pun turut serta aktif terlibat dalam perjuangan tersebut.
Dapat ditarik benang merah
bahwa keberadaan pers dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Dari
sekian banyak pejuang kemerdekaan Indonesia yang berprofesi wartawan, satu diantaranya adalah pejuang
dari suku Dayak, Kalimantan yang dikenal dengan Bumi
Tambun Bungai (Kalimantan Tengah), Housmann
Baboe.
Housmann Baboe memulai kiprahnya dalam perjuangan pada dunia pers sejak Juli 1919 di Kalimantan Tengah. Perjuangan dan
pengabdiannya
tidak bisa dipandang sebelah mata, baik pada
dunia pers maupun perjuangannya dalam kemerdekaan tanah air.
Hal ini dibuktikannya dengan mendirikan majalah Soeara Pakat yang berisikan
perlawanan rakyat terhadap para colonial di masa Hindia Belanda.
Housman Baboe adalah seorang putera asli Dayak Ngaju
yang dilahirkan pada Desa Hampatong, Kabupaten Kuala Kapuas, Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 1880. Ayahnya bernama Joesoea Baboe dan Ibunya bernama Soemboel merupakan anak dari Patih
Andoeng, dan cucu dari Tamanggung
Ambo Nikodemus. Kakeknya adalah tokoh yang sangat terkenal pada masa
pemerintahan Belanda karena terlibat dalam Perang Banjar (1859-1863).
Housman Baboe dikenal akrab sebagai wartawan ulet dan gigih. Kemudian, sebagai tokoh pergerakan nasional yang memiliki peranan sangat penting dalam
pergerakan organisasi Pakat Dayak. Selain itu juga, dirinya sangat akrab dengan
tokoh nasional yakni H.O.S. Tjokroaminoto.
Marko Mahin dalam bukunya berjudul Tokoh Pergerakan Rakyat
Dayak yang Terlupakan (2006), Housmann Baboe adalah anak
keenam dari sembilan bersaudara yaitu Demen Baboe, Arnold Baboe, Martina Baboe,
Enoes Baboe, Efrain Baboe, Housmann Baboe, Yohan Baboe, Raginae Baboe dan
Magdalena Baboe. Nasibnya pada saat, juga termasuk orang yang beruntung karena
dapat mengenyam pendidikan pada Sekolah Zending di Hampatong,
Kabupaten Kuala Kapuas.
Housmann Baboe yang berasal dari etnis Dayak Ngaju, mengawali
perjalananan dan perjuangan hidupnya dengan meniti karir di bidang jurnalistik. Bermula pada awal tahun 1905 di Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan) berkolaborasi putera-putera
Kalimantan lainnya seperti A. Atjil, Amir Hassan Bondan dan Mohammad Horman, menjadi wartawan
pada media Harian Sinar Borneo yang dipimpin
oleh Mozes Ness
yang berdarah Indo-Belanda.
Selanjutnya, pada tahun
1914 menjadi wartawan Harian Pengharapan yang dipimpin oleh pimpinan Tie Ie Sui dan Oei Tek Hong. Disamping itu juga,
Housmann Baboe pun sejak tahun 1915 membantu Majalah Bulanan Barita
Bahalap (BB) yang diterbitkan di Kuala
Kurun. Majalah ini berdiri sejak tahun 1912 sekaligus merupakan majalah pertama, dan penerbitannya
pun di wilayah Kalimantan Tengah. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda wilayah ini disebut Afdeling Kapoeas Barito.
Pada tahun 1920 Housmann Baboe mendirikan Koperasi Dagang Dayak
untuk menghadapi pemodal-pemodal Cina. Apa alasan Housmann
Baboe mendirikan koperasi tersebut? Hampir sama dengan kasus Sarekat Islam berdiri
di Lawean Solo pimpinan Rekso Reomekso, menghadapi aksi organisasi Kong-Sing di tahun 1911 dalam pencurian batik, sehingga dikenal dengan nama ronda.Pada dekade tahun 1920 an, Housmann Baboe juga diangkat menjadi pegawai birokrasi
Pemerintah Hindia Belanda di jajaran Ambetenaar
Inlandsch Bestuur (AIB), Pejabat Pangareh Praja memegang jabatan Kepala
Pemerintahan Distrik (Districthoofd)
yang bergelar Kiai. Pada masa sekarang setingkat Camat.
Kiprah Housmann Baboe semakin terang karena
pernah bertugas di kawasan Keresidenan Timur dan Selatan Pulau Kalimantan
seperti, di Paser (Kalimantan Timur), Kuala Kurun, Kuala Kapuas dan
Banjarmasin. Namun demikian, karena kesibukannya dalam perjuangan pergerakan kebangsaan,
maka pada bulan Februari tahun 1922, akhirnya ia berhenti bekerja pada Dinas
Pemerintahan Belanda.
Selama menjabat sebagai kepala Distrik
Kuala Kapuas, Housmann Baboe mendirikan sekolah yaitu Sekolah Dayak Belanda
atau Hollandsche Dayak School (HDS). Sekolah ini terletak di Desa
Hampatong di sepanjang pinggiran Sungai Murung yang dipimpin Mahir Mahar. Tujuannya, masyarakat Dayak dapat juga mengeyam pendidikan, karena waktu itu
pribumi dilarang untuk bersekolah di OSVIA, sekolah bagi pegawai negeri
pribumi. Kini, tempat tersebut ini berubah alih fungsi menjadi gudang penggilingan
dan penyimpanan padi. Uniknya pada pembangunan sekolah HDS tersebut tanpa
didukung dana dan SDM dari pemerintah kolonial Belanda.
Berselang beberapa tahun, Housmann juga mendirikan Sekolah Dasar Swasta
di daerah Mantangai. Adapun sekolah-sekolah ini ditujukan khusus bagi
Orang Dayak agar mampu menghasilkan orang-orang yang berpikiran kritis dan
pintar. Beliau juga menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi
Dayak pertama di Kalimantan yaitu Sarikat
Dayak tahun 1919. Organisasi
ini beranggotakan, M. Lampe, Philips Sinar,
Haji Abdulgani, Sian L. Kamis, Tamanggung Toendan, Achmad Anwar dan Mohamad
Norman. Sarikat Dayak kemudian berubah nama menjadi Pakat Dayak di tahun 1926 yang berkedudukan di Kuala Kapuas. Housmann
Baboe sempat juga menerbitkan Surat kabar Harian Soeara Borneo di Banjarmasin bersama-sama Mohamad Horman, Saleh
Ba’ala dan Amir Hassan Bondan.
Terdapat
latar belakang dibentuknya organisasi Sarikat
Dayak yang kemudian berubah menjadi Pakat Dayak. Organisasi tersebut merupakan bagian dari
kesadaran kebangsaan yang telah menyebar ke pelosok tanah air. Tidak
terkecuali di kalangan suku Dayak. Pada tanggal 18 Juli 1919 bertempat di Gereja
Hampatong Kuala Kapuas berdiri organisasi Sarikat Dayak. Pada masa pembentukannya, organisasi ini mendapat perhatian besar dari para tokoh masyarakat setempat.
Adapun yang terpilih menjadi pengurus
Sarikat Dayak untuk pertama kalinya adalah, Ketua dan Wakil Ketua yakni, M
Sahabu dan W. Adam,
Kemudian, Sekretaris I dan II dijabat Ph. Sinar dan E. Sandan, dan
Bendahara yaitu B. Tubil. Selanjutnya, komisarisnya masing-masing
Djilan dan PL Obos, serta S. Sandan sebagai Penasehatnya. Terbentuknya
organisasi tersebut bertujuan membantu dan membela kepentingan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya Sarikat Dayak melaksanakan program di bidang ekonomi,
dengan mendirikan Koperasi Dayak yang dikepalai Lui Kumis. Alhasil, usaha ini
cukup berhasil meningkatkan kesejahteraan para anggotanya.
Dalam buku Sejarah Kalimantan Tengah
(2006), setelah Housmann Baboe yang menjadi ketua Sarikat Dayak -kemudian berubah
nama menjadi Pakat Dayak-, pada tahun 1929 menerbitkan Majalah Soeara Pakat sebagai alat
perjuangan.
Majalah ini mempunyai segmen pembaca
yang cukup luas. Bahasa yang dipakai adalah Bahasa Indonesia dan secara berkala
menyajikan tulisan atau artikel dalam Bahasa Dayak Ngaju.
Memasuki tahun 1930, Pakat Dayak dengan gigih
memperjuangkan tuntutan masyarakat kepada pemerintah Hindia
Belanda, agar dalam Dewan Rakyat (Volksraad)
di Batavia ada perwakilan Suku Dayak. Pada tahun tersebut, bertempat di
Banjarmasin dilangsungkan pertemuan para tokoh suku Dayak dari Pontianak,
Samarinda dan dari Pulau Jawa untuk mempersiapkan program yang disesuaikan dengan
perkembangan tuntutan pada masa itu. Termasuk memperbaharui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Statuten Huishoudelijk Reglement) Pakat
Dayak.
Selanjutnya pada tahun 1934, kedudukan Pakat Dayak dipindahkan ke Banjarmasin, dengan
pertimbangan agar pengurus besar Pakat Dayak lebih lancar menggulirkan
kegiatannya. Antara lain mengelola Majalah Soeara Pakat. Kemudian pada tanggal 20
Agustus 1938 terbentuk kepengurusan baru organisasi Pakat Dayak, yakni dipimpin
Mahir Mahar dengan tetap meneruskan cita-cita Sarikat Dayak dan mengaktifkan
Komite Kesadaran Suku Dayak. Perhatian dan dukungan masyarakat Dayak terhadap
Pakat Dayak sungguh besar dan menyebar dengan berdirinya cabang-cabang di
kawasan Kalimatan Selatan, Kalimantan Barat dan Timur. Bahkan di Pulau Jawa
terbentuk dua cabang, yakni Bandung dan Surabaya.
Dari catatan Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah
(1978/1979)
tertulis, terbentuknya Sarikat Dayak sangat unik. Pendukung atau pencetusnya mula-mula, diadakan rapat pembentukan dengan
menggunakan gedung gereja di Kuala Kapuas. Penggunaan gedung gereja tersebut
hanyalah suatu siasat belaka agar tidak dicegah oleh penguasa Kolonial. Adapun
pelaksanaannya dimulai dengan mengadakan kebaktian atau sembahyang.
Pemimpinnya-pemimpinnya adalah para wakil bumi-putera yang
menjadi pegawai pemerintah Belanda. Seperti diketahui,
pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda melarang pegawai-pegawai pemerintah
masuk dalam Partai Politik. Untuk menghindari kategori Partai Politik ditempuh
jalan dengan menamakan wadah yang dibentuk tersebut dengan Sarikat
Dayak, berbentuk
organisasi sosial non-politik.
Sarikat Dayak didirikan Housmann Baboe
yang saat itu menjabat menjadi Kepala Distrik yang berkedudukan di Kuala Kapuas. Kemudian dibantu M. Lampe yang waktu itu seorang adjuct Jaksa. Organisasi ini bertujuan mengembalikan rasa harga diri yang
diinjak-injak kaum penjajah serta menanamkan rasa memiliki. Selain itu, ingin
menghimpun dan memperkuat solidaritas untuk bersama berjuang
memperbaiki nasib dengan tolong-menolong, serta memperhatikan
pendidikan anggota-anggotanya.
Organisasi ini didirikan tidak memandang
aliran faham politik dan keagamaan. Akan tetapi lebih mengutamakan kebersamaan
dan persatuan mencapai kejayaan. Karena gerakan dan usaha organisasi Sarikat Dayak
ini tidak mencantumkan gerakannya sebagai suatu Partai Politik, pemerintahan
Belanda di Kalimantan Tengah masih memperkenankan organisasi ini hidup dan
melebarkan sayapnya ke seluruh Kalimantan Tengah.
Adapun
program utama dari organisasi ini adalah bergerak dalam bidang pendidikan. Alasannya,
karena melalui pendidikan dapat diberikan fikiran-fikiran tentang cita-cita
bangsa, dimana anak-anak yang dididik adalah kader-kader yang akan meneruskan
cita-cita bangsa yang merdeka. Kemerdekaan yang telah
diinjak-injak sistem pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Tengah, harus
direbut kembali dan harus dihormati bangsa lain.
Ternyata perjuangan Housman
Baboe tidak sampai disiitu. Dari buku Tokoh-Tokoh Pejuang Kalimantan Tengah, Peran dan Pemikirannya
(2007) tertulis
pada tahun 1923-1924 melalui pemikiran Housman Baboe melakukan
pertemuan dengan mendirikan National
Borneo Congres di Banjarmasin. Kongres ini diikuti
seluruh wakil lokal Sarikat Islam yang berada di Karesidenan Selatan dan Timur
Borneo serta wakil dari Sarikat Dayak.
Seterusnya, Pada kongres Sarekat Islam
di Banjarmasin ini, Housmann Baboe diberi kuasa menyampaikan mosi kepada
Gubernur Jenderal Belanda dan Majelis Voklksraad
dengan isi antara lain, Bea impor 8% dari tanaman rotan dihapuskan, karena sudah
dikenakan pajak pendapatan. Kemudian pengembalian uang pajak penyembelihan yang
diambil pemerintah Belanda secara tidak sah. Hal ini terutama dari permohonan yang datang dari masyarakat Kuala Kapuas dan tanah
Dayak.
Sementara itu, dari
masyarakat Muara Teweh dan Dusun Tengah merasa keberatan dengan pembukaan
tambang batubara di daerah tersebut untuk perusahaan asing. Alasannya, dikhawatirkan
merusak pertambangan rakyat dan merusak tanaman rakyat. Mereka juga meminta
agar di wilayah
Kuala Kapuas didirikan HIS dan Sekolah Gobernemen Kelas III.
Selain itu, juga membuat Nota Protes terhadap Belanda atas pelarangan
kedatangan HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim ke Banjarmasin.
Pada tahun sama yakni 1926 kiprah Housmann Baboe kembali aktif dalam dunia jurnalistik,. Dalam artikel
yang ditulis T.T Suan tertilis
Housmann Baboe di Banjarmasin mendirikan kantor berita pertama di
Indonesia atau Hindia Belanda, waktu itu bernama BORPENA (Borneosche Pers en Nieuws
Agentschap). Pada tahun 1928, Kantor Berita BORPENA
berganti nama menjadi KALPENA (Kalimansche Pers en Nieuws Agentschap).
Kantor Berita KALPENA akhirnya
tutup pada akhir 1930, karena kalah bersaing dengan Kantor Berita Belanda ANETA (Algemeen Nieuws en Telegraf Agentschap).
Pada tahun 1934, redaksi majalah
Soeara Pakat dipindahkan ke Banjarmasin. Majalah Soeara Pakat dipimpin E.S.
Handuran bersama-sama Badan Pengasuh dan para wartawan generasi muda Suku Dayak
terkemuka, yaitu M. Mahar, C. Luran,
Chr. Nyunting, Nona Bahara Nyangkal dan Tjilik Riwut. Majalah Soeara
Pakat banyak menyuarakan semangat dan cita-cita kebangsaan yang menjadi dasar
perjuangan Pakat Dajak.
Karir Housmann Baboe dalam bidang
jurnalistik berakhir tahun 1937. Uniknya dalam menjalani profesi tersebut ternayata tidak pernah
meminta imbalan gaji atau honor. Mata pencahariannya dengan berdagang, dan
dibantu menantunya yakni Kawit Dau.
Sementara usaha sampingannya dilakukannya dengan membeli keramik dan
barang-barang antik milik orang Dayak di pedalaman, seperti kulit buaya, ular
dan biawak dan juga hasil bumi. Kemudian barang-barang tersebut kemudian dijual
ke Surabaya dan pulangnya membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat
Dayak.
Usahanya cukup berhasil sehingga dapat
memiliki sebuah rumah besar di daerah Pekapuran pada kota Banjarmasin. Dalam catatan Marko Mahin (2006), Housmann Baboe menjadi orang pertama di
Banjarmasin yang memiliki mobil dan supir pribadi, serta juga memiliki kapal
motor dengan nama Edna, yang digunakan untuk menjalankan usahanya.
Kehidupan Housmann Baboe berakhir
di masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pada bulan
Agustus 1943, Housmann Baboe
ditangkap oleh Keibitai (pasukan
Polisi Militer Jepang) di Kuala Kapuas. Selanjutnya dipenjarakan di Fort Tatas
yang sekarang menjadi Masjid Sabilal Muhtadin. Dia juga disiksa secara kejam bersama-sama para tawanan antara lain
Dr. B.J. Haga, Gubernur Borneo, dr. Visser berkebangsaan Swiss dokter Zending
dan Kepala Rumah Sakit Umum Gereja Dayak Evangelis (RSU-GDE) Kuala Kapuas.
Kemudian pada tanggal 20 Desember 1943,
Housmann Baboe bersama-sama dengan 250 orang lainnya, termasuk Gubernur B.J. Haga
dan dr Visser, dihukum mati di Banjarmasin oleh Keibitai Jepang dengan tuduhan melakukan subversi.
Dalam artikel Wajidi, tertulis nama
daftar korban kekejaman masa penjajahan Jepang seperti, C.M. Vischer (umur 47),
S. Raden Soesilo (umur 50), Antiro Santeago Pereira (umur 53), Cosa Kakarico,
L.J. Brandon (umur 50), G.D.E. Braches (umur 40), Housmann Baboe (umur 53),
Makaliwij (umur 37), Oe Ley Koey (umur 38), Phoa Hok Tjwan (umur 49), A. Roman
(umur 26), A.C.W. Wardenier (umur 45), Den Hartog (umur 35), Y. De Vries (umur
33), orang Belanda, W.A. Verpalen (umur 36), M.C. Bais (umur 34), Beukers (umur
39), L.W.Y. Bouhuis, Willem Philipsen (umur 37), G.J. Van der Kooi (umur 33),
A.H.V.H. Linden (umur 31), N.G. Haga (umur 45), Betty Vischer (umur 43),
Braches (umur 32), Nelina Verpalen (umur 36), dan Z.C. Reichert (umur 40).
Pada sumber
lain menyebutkan, bahwa tempat pembantaian diperkirakan dilakukan para
pasukan Jepang tersebut
adalah di Lapangan Terbang Ulin. Kini terletak
sekitar 28 kilometer dari Kota
Banjarmasin. Pada tempat tersebut telah ditemukan 150 buah tengkorak, 30 orang meninggal karena
disiksa, sisanya
26 orang lagi termasuk 5 orang perempuan dan pegawai yang dibunuh Jepang
pada 20 September 1943. Hingga sekarang pejuang dari tanak Dayak ini tidak
memiliki makam, dan jasadnya pun tidak dapat ditemukan.
Berdasarkan
perjuangan dan pengabdian Housman Baboe dalam pada bidang
jurnalistik, kemudian
kecintaanya terhadap tanah air khususnya terhadap tanah Provinsi
Kalimantan Tengah, maka pemerintah Daerah Kalimantan Tengah berdasarkan surat
keputusan Gubernur KDH Kalimantan Tengah Nomor 5/Pem.326-C.2-3 tanggal 8 Mei
1962, nama Housmann Baboe digunakan sebagai nama jalan di Kalimantan Tengah.
Kemudian terdapat sederet jasa-jasa Housmann Baboe baik sebagai wartawan, maupun sebagai
penerbit Surat Kabar dan pendiri Kantor Berita Pertama di negeri ini. Untuk
menghargai jasanya, pihak PWI Kalimantan Selatan dan Kanil Deppen Kalimantan
Selatan pernah mengajukan usul kepada pemerintah Pusat Republik Indonesia agar
Housmann Baboe dan tokoh-tokoh pers lainnya seperti A.A Hamidan, Amir Hasan
Bondan dan Mohamad Horman Horman diberikan gelar Perintis Pers Kemerdekaan.
Pada Peringatan Hari Pers atau HUT PWI
Ke-50, tepat tanggal 9 Februari 1996 Ketua PWI Cabang Kalimantan Tengah
menganugerahkan Piagam Penghargaan kepada tokoh Perintis Pers Kalimantan Tengah
yakni Housmann Baboe.
Piagam Penghargaan diserahkan kepada yang mewakili keluarga almarhum
dalam sebuah upacara yang berlangsung di Balai PWI Kalimantan Tengah
di Jalan R.T.A. Milono, Kota Palangka Raya, kalimantan Tengah.
Mungkin nama Housmann Baboe di luar
maupun di Provinsi Kalimantan Tengah belum setenar dan menjadi pahlawan Nasional
seperti Tjilik Riwut. Namun, banyak nilai yang dapat diambil dari sosok Housmann
Baboe khususnya dalam memperjuangkan pers serta sikap nasionalismenya pada masa
Kolonial Belanda dan Jepang. Apalagi,
bilamana sejarah yang diajarkan dilingkungan sekolah adalah seorang tokoh yang
dinarasikan sebagai sosok sempurna tanpa cacat-cela penuh dengan mistik yang
melingkupi dirinya. Begitu juga dengan sejarah tokoh lokal yang ditulis di
Kalimantan Tengah, sosoknya selalu dianggap tabu untuk dibicarakan, serta penuh dengan mistik.
Housmann Baboe
Sumber foto : koleksi foto internet
Housmann Baboe
Sumber foto : koleksi foto internet
Sosok
tokoh Housmann Baboe kalau dikaji secara secara mendalam adalah inspirasi dari gerakan pembebasan.
Sosok yang sangat mudah didiskusikan, diceritakan dalam fase sejarah
kemanusiaan. Nasionalisme dan rasa bangganya sebagai Suku Dayak dibawa dalam sebuah konteks ideologi pembebasan dari belenggu
dan image-image tentang Dayak. Suku Dayak selama ini hanya digambarkan sebagai sosok
yang kemana-kemana membawa mandau dan
adegan eksotis kayau (potong kepala)
yang menakutkan, dan selalu
diceritakan bangsa-bangsa Eropa terhadap khalayak.
Sosok Housmann Baboe sangat pemberani dan selalu tampil ke depan dalam menentang kolonialisme dengan petisi dan mosinya. Kemudian menyelenggarakan
rapat politik dan bersama-sama Suku Dayak memperjuangkan nasibnya agar sejajar
dengan suku lainnya. Nasionalisme dan integrasi Dayak dalam bingkai persatuan sudah
muncul di masa Housmann Baboe dengan organisasi yang didirikannya yaitu Pakat
Dayak. Hasil dari kolaborasi Pakat Dayak dengan Sarekat Islam membawa Pakat
Dayak melewati batas-batas etnisitas dan Agama. Indahnya persatuan tanpa sekat
etnis dan Agama.
Pada
era milenial, nilai-nilai kejuangan Housmann
Baboe, patut ditiru
dan diteladani. Dengan mengetahui sejarah tokoh-tokoh
lokal di Bumi Tambun Bungai, Tentunya akan membuka wawasan sehingga dapat mewujudkan rasa mencintai dan meneladani nilai-nilai tokoh pahlawan yang telah
berjasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dengan mengetahui perjuangan Housmann Baboe akan bermanfaat sebagai
upaya dalam
membentuk generasi millennial,
generasi emas yang melek sejarah.
Kemudian bermanfaat menanamkan attitude atau
pembelajaran pembentukan karakter yang baik sehingga generasi muda tidak hanya
unggul secara akademik maupun non akademik. Akan tetapi juga memiliki ketulusan hati
untuk membangun bangsa yang lebih baik kedepan. Selanjutnya,
sebagai bahan suplemen pembelajaran sejarah lokal, dalam
rangka memberikan kompetensi dalam menghadapi tantangan
era millenium. Sebagai bahan komunikasi bagi generasi muda sebagai kaum millenial
dalam mengenal sejarah lokal di
daerah sendiri, khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahim S. Rusan
Dkk. 2006. Sejarah Kalimantan Tengah.
Program Pengelolaan Kekayaan Budaya Provinsi Kalimantan Tengah.
Bambang Suwondo.
1978/1979. Buku Sejarah Kebangkitan
Nasional Daerah Kalimantan Tengah.
Marko Mahin.
2006. Housmann Baboe: Tokoh Pergerakan
Rakyat Dayak yang Terlupakan. Jakarta : Keluarga Housmann Baboe.
Pembayun
Sulistyorini Dkk. 2007. Tokoh-Tokoh
Pejuang Kalimantan Tengah, Peran dan Pemikirannya. Kalimantan Tengah: BPSNT
Pontianak.
TT. Suan. 2011. Hausmann Baboe Perintis Pers Dari Kalimantan
Tengah di https;//jurnal toddoppuli.wordpress.com (di akses 15 Juni).
Wajidi. 2011. Pembunuhan Kompoltan Haga Di Borneo Selatan di
https://bubuhanbanjar. wordpress,com (di akses 17
Juni).
HOUSMANN BABOE: ORGANISATORIS DAN PEJUANG PERS DARI BUMI TAMBUN BUNGAI (1919-1943)
Reviewed by Sepintas Kabar
on
August 19, 2019
Rating:
No comments:
Post a Comment